Thursday, August 1, 2013

Pemuda dan Politik

Gaung tahun politik Pemilu 2014 sudah mulai terasa. Perbaikan kualitas proses politik dan institusi politik akan menjadi landasan perbaikan institusi lainnya. Di tahun politik dan pemilu ini perbaikan kualitas perpolitikan harus menjadi pekerjaan utama untuk diselesaikan bersama.
Dalam sejarah perkembangan Indonesia, peran institusi politik yang dimainkan oleh generasi muda Indonesia dengan sangat baik dan berhasil. Oleh karenanya, perbaikan, pembangunan dan penataan institusi politik di masa sekarang perlu dilakukan dengan baik.
Seorang Ilmuwan Politik Amerika Serikat, Lucian W. Pye membuat pengertian “pembangunan politik” sebagai hal komprehensif karena berkaitan pembinaan kehidupan demokrasi, mobilisasi dan kekuasaan serta roses perubahan sosial multidimensional.
Pembangunan sistem politik demokratis diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan semakin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia akan memberikan ruang sesemakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, pembangunan politik di Indonesia harus berhadapan dengan proses demokratisasi sedang berjalan dewasa ini.
Dalam sejarah perkembangan Indonesia, peran institusi politik yang dimainkan oleh generasi muda Indonesia dengan sangat baik dan berhasil. Oleh karenanya, perbaikan, pembangunan dan penataan institusi politik di masa sekarang perlu dilakukan dengan baik.
Tentu semua prihatin apabila karena berbagai sebabn putra-putri terbaik bangsa justru menjauhi politik. Kualitas sebuah institusi, sebagai penentu kemajuan pembangunan suatu bangsa. Jalan menuju kemajuan bangsa adalah dengan membangun, menata dan memperbaiki institusi ekonomi, sosial, politik bangsa itu.
Perpolitikan Indonesia kini masih di  pegang oleh para aktor yang sudah biasa berkecimpung di media politik, maka dari itu kini saatnya Indonesia berubah yakni lewat para generasi muda, yang muda yang berpolitik itulah slogan yang dapat menjadi renungan terlebih bagi para pemuda Indonesia yang menjadi simbol perubahan bangsa ini. Tidak ada jalan lain.
Pemuda dan Perubahan Politik
Mengungkapkan realitas politik sebagaimana dingkapkan sebelumnya tegas disimpulkan bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga sekurang-kurangnya yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.
Jika ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka selain kaum intelektual dan cerdik cendekia posisi peran pemuda diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka.
Hanya saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan, ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.
Untuk itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat setidak-tidaknya para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional. Menggerakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual. Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya, maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas cita-cita yang hendak dicapainya.
Pemaknaan atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk Huels adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak.
Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri sebagaimana diungkapkan diawal tulisan ini substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.
Untuk memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme, maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.
Disaat generasi muda ingin menggerakan jari – jemarinya menuliskan sejarah bagi negeri ini, ketika itu pula sebuah tujuan meretaskan sebuah harapan, meretaskan mimpi dalam tangisan, ketika itu pula janji dan amanah bernilai ekonomis tinggi, diantara itu tersirat sebuah harapan munculnya pemimpin sejati dari pertarungan abadi. Semua itu adalah realita bahwa perpolitikan di Indonesia selalu dihadapkan pada kondisi – kondisi yang sangat dilematis seperti halnya mengeluarkan kebijakan yang cenderung menguntungkan disalah satu pihak saja, kemudian betapa mudahnya elit politik (politisi) terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika yang menyebabkan munculnya praktek korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pemerintahan yang cenderung mengacu pada hukum besi oligarkis dan lain sebagainya. Yang paling umum ialah dimana kepentingan elit politik yang secara langsung terlibat dalam setiap penyelenggaraan aktivitas politik terkesan lebih mementingkan kepentingan golongannya dan praktek politik yang kurang beretika juga semakin membudaya dimana memunculkan banyak praktek korupsi yang dilakukan oleh para pemegang amanah yang kurang bertanggung jawab. Hal ini tentu saja akan menimbulkan adanya keapatisan yang akan berkorelasi dan mungkin akan menyebabkan dampak terburuk bagi generasi kader politik muda yaitu pesimisitas pemuda dalam berpartisipasi secara aktif dalam politik, termasuk menghambat keterlibatan pemuda dengan ideologi yang dibawanya. Namun ingatlah kata bung Karno “ Beri aku 10 pemuda, niscaya akan ku gocangkan dunia”. Dari kata – kata ini diperoleh sebuah jawaban singkat dan sederhana bahwa dunia perpolitikan bukanlah sebuah permainan yoyo dan gasing bagi pemainnya yang bisa mereka mainkan sesuai dengan apa yang mereka inginkan, melainkan sebuah seni dalam masyarakat yang mampu berdiri dan berjalan indah sehingga mampu berorientasi ke arah yang lebih baik menuju indonesia emas.
Kondisi ini akan semakin buruk ketika kaum pemuda belum paham mengenai bagaimana sebuah sistem demokrasi berjalan di bangsa ini dan bagaiamana mereka dapat berperan dan mendapatkan akses untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi kemajuan bangsa ini. Demokrasi yang selama ini berlangsung secara prosedural harapannya mampu berlangsung secara subtansial. Demikian betapa jelasnya tantangan pemuda kedepannya ialah semakin besar yaitu bagaimana pemuda dituntut sebagai agent of change, agent of revolution, agent of development, agent of control dan agent of globalisation yang mampu mengimplementasikannya semua gebrakan – gebrakan penting yang berbentuk direct of change dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana kita sebagai pemuda dituntut untuk mampu mengubah paradigma masyarakat tentang hakikat politik itu sendiri secara progresif yang dewasa ini selalu saja dikaitkan dengan “kekuasaan sebagai alat dan tujuan segelintir orang yang kurang bertanggung jawab” . Namun ingatlah pemuda ! bahwa hakikat politik bukan itu saja, mari kita perjuangkan bahwa selama jari – jamari kita masih mampu menulis dan mulut kita masih bisa berbicara bahwa kita harus yakin bahwa kita mampu menemukan makna dan konteks yang asli dari anggapan klasik yang merupakan akibat anarkisme politik karena etika dari logika politik yang salah.
Salah satu perdebatan yang telah lama mengemuka sebagai wacana publik dalam beberapa tahun terakhir ini ialah inkompatibilitas antara sistem multi partai dan presidensial di Indonesia. Inkonsistensi sistem multi partai ini mungkin salah satu penyebab dari kurang efektifnya pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Dalam hal ini sangat di perlukan sebuah keteguhan dari para pemuda dimana para pemuda diharapkan mampu memberikan gebrakan – gebrakan secara real dan relevan untuk mewujudkan gagasan – gagasan perubahan untuk masa kini dan masa yang akan datang menuju Indonesia emas, misalnya dengan melakukan revitalisasi semangat sumpah pemuda kembali. Revitalisasi semangat sumpah pemuda harus segera direalisasikan dalam pergerakan pemuda dalam bidang sosial perpolitikan. Tanpa itu semua, revitalisasi tersebut hanya akan menimbulkan aktivitas semu yang akan segera di lupakan sejarah. Revitalisasi sumpah pemuda yang sangat begitu berjarak, bahkan cenderung menjauhi gerakan pemuda diranah sosial dan politik yang secara tersirat justru merupakan pepesan kosong yang menjadi sumpah serapah. Jika kita merindukan semua itu terulang kembali semangat sumpah pemuda yang begitu bergelora, maka inilah jalan satu – satunya dimana semangat jari – jemari muda untuk segera merevitalisasinya adalah hal yang sangat mendesak.
Memang masalah – masalah tersebut tidak akan mudah terselesaikan seperti halnya membalikan telapak tangan. Hal ini membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk membentuk karakter politik muda yang mumpuni yang mampu meretaskan semua permasalahan yang ada. Pengimplementasian empat pilar kebangsaan ialah salah satu titik awal pembentukan karakter politik muda yang santun dan bersahaja. Namun diantara masalah – masalah tersebut sejarah telah menorehkan tintannya, bahwa disetiap momen penting perubahan bangsa ini tidak akan pernah terlepas dari peranan jari – jemari pemuda dimana kaum muda ialah lokomotif penggerak dan garda terdepan dalam setiap episodenya. Sekarang ini kaum pemuda memiliki kesempatan yang begitu besar untuk meningkatkan partisipasi politiknya. Dengan kemunculan sosok pemuda yang memiliki pandangan yang jelas mengenai sistem politik, sosial ekonomi kemasyarakatan, demokrasi dan lain sebagainya. Hal ini diharapkan akan menciptakan sebuah efektifitas sistem multi partai dan perbaikan politik yang kurang beretika di Indonesia, semua itu merupakan sebuah urgensi yang harus benar – benar terealisasi. Partisipasi politik muda sangatlah absolut agar kemunculan pemuda dalam perpolitikan tidak hanya bermodalkan usia dan semangat perubahan yang lebih baru, melainkan diperlukan juga pandangan segar kaum pemuda dalam sebuah visi dan misi leadership yang mampu terefleksikan menuju Indonesia emas. Namun tidak serta merta pengalaman sejarah tersebut menjadikan pemuda membusungkan dada tanpa suatu landasan yang jelas dan selalu saja memendang kotor orang – orang yang berada diatas sana, karena itu sungguh tidak adil dan tidak sepatutnya kita terdoktrin oleh semua itu.
            Dari bermacam – macam masalah diatas setidaknya menjadi gambaran bahwa peranan pemuda yang paling utama dan essensial ialah mengisi kekosongan dalam tubuh sosial politik dalam masyarakat menuju orientasi yang lebih baik. Sebuah pepatah menjelaskan bahwa “ JANGAN TANYAKAN APA YANG BANGSA INI BISA BERIKAN KEPADA ANDA NAMUN COBA TANYAKAN APA YANG BISA ANDA BERIKAN KEPADA BANGSA INI”. Secara jelas tersirat sebuah makna dari pepatah tersebut yaitu tugas pemuda bukanlah untuk selalu berhasil. Karena tugas kita yang utama ialah untuk selalu mencoba dan memberikan suatu pembeda dan niscaya dalam proses tersebut ditemukan sebuah pembelajaran untuk membangun kesempatan untuk mencapai suatu titik keberhasilan yang hakiki, dalam politik pun kita sebagai pemuda dituntut demikian. Bagaiamana masalah – masalah yang kita hadapi bukan hendaknya dijadikan sebuah halangan melainkan kita jadikan suatu tantangan yang mengasikan. Kita jangan pernah terjebak dalam arus pemikiran praktis dimana menginginkan apa – apa tetapi tidak bisa berbuat apa – apa dan hanya ingin menguasai apa – apa tetapi tidak mampu mengayomi apa – apa. Disinilah peran pemuda harus segera direvitalisasikan oleh karena pemuda harus secara relevan mengetahui, menghayati, dan menyakini cita – cita luhur bangsa Indonesia. Pemuda harus peka sebagai agent of control dan agent of change perpolitikan di Indonesia, meluruskan bilamana pengelolaan negara melenceng dari koridor cita – cita bangsa Indonesia dan bilamana pula terjadi penyalahgunaan wewenang yang justru akan menciderai empat pilar kebangsaan yang harus kita junjung tinggi menuju Indonesia emas. Karena pemuda harus paham dan mengerti politik karena pemuda adalah satu – satunya senjata bangsa Indonesia menuju orientasi yang lebih baik dan ini ialah harga mati.

Share On:

0 komentar:

Post a Comment

Berilah komentar anda dengan bijak