Gaung
tahun politik Pemilu 2014 sudah mulai terasa. Perbaikan kualitas proses
politik dan institusi politik akan menjadi landasan perbaikan institusi
lainnya. Di tahun politik dan pemilu ini perbaikan kualitas
perpolitikan harus menjadi pekerjaan utama untuk diselesaikan bersama.
Dalam
sejarah perkembangan Indonesia, peran institusi politik yang dimainkan
oleh generasi muda Indonesia dengan sangat baik dan berhasil. Oleh
karenanya, perbaikan, pembangunan dan penataan institusi politik di masa
sekarang perlu dilakukan dengan baik.
Seorang
Ilmuwan Politik Amerika Serikat, Lucian W. Pye membuat pengertian
“pembangunan politik” sebagai hal komprehensif karena berkaitan
pembinaan kehidupan demokrasi, mobilisasi dan kekuasaan serta roses
perubahan sosial multidimensional.
Pembangunan
sistem politik demokratis diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan
wilayah Republik Indonesia dan semakin mempererat persatuan dan kesatuan
Indonesia akan memberikan ruang sesemakin luas bagi perwujudan keadilan
sosial dan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena
itu, pembangunan politik di Indonesia harus berhadapan dengan proses
demokratisasi sedang berjalan dewasa ini.
Dalam
sejarah perkembangan Indonesia, peran institusi politik yang dimainkan
oleh generasi muda Indonesia dengan sangat baik dan berhasil. Oleh
karenanya, perbaikan, pembangunan dan penataan institusi politik di masa
sekarang perlu dilakukan dengan baik.
Tentu
semua prihatin apabila karena berbagai sebabn putra-putri terbaik
bangsa justru menjauhi politik. Kualitas sebuah institusi, sebagai
penentu kemajuan pembangunan suatu bangsa. Jalan menuju kemajuan bangsa
adalah dengan membangun, menata dan memperbaiki institusi ekonomi,
sosial, politik bangsa itu.
Perpolitikan
Indonesia kini masih di pegang oleh para aktor yang sudah biasa
berkecimpung di media politik, maka dari itu kini saatnya Indonesia
berubah yakni lewat para generasi muda, yang muda yang berpolitik itulah
slogan yang dapat menjadi renungan terlebih bagi para pemuda Indonesia
yang menjadi simbol perubahan bangsa ini. Tidak ada jalan lain.
Pemuda dan Perubahan Politik
Mengungkapkan
realitas politik sebagaimana dingkapkan sebelumnya tegas disimpulkan
bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga
sekurang-kurangnya yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah;
Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti
keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk
menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah
menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan
rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk
tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status
quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga,
bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem
politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan
budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.
Jika
ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik,
maka selain kaum intelektual dan cerdik cendekia posisi peran pemuda
diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya
yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa
Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908,
per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka.
Hanya
saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah
soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu
perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,
ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan
tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding
bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan,
semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat
lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya
memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan
pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.
Untuk
itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena
keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak
mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik
era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik
di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik
untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para
pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik
secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan
partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat
setidak-tidaknya para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya
politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para
pelaku politik.
Kedua
sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam
melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini),
jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika
mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai
politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara
institusional. Menggerakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi
mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan
kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk
mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan
partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Sama
berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi
politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik
bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual.
Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan
dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan
bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara.
Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan
pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab
sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.
Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society),
yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan
kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang
dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan
mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara
kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi
kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu
tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang
menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya,
maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas
cita-cita yang hendak dicapainya.
Pemaknaan
atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan
Dirk Huels adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan
kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani
menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi
berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap
setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan
sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk
tujuan kemaslahatan orang banyak.
Pada
saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu
jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas
terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal
sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik
dan partai politik itu sendiri sebagaimana diungkapkan diawal tulisan
ini substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam
kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah
kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum
muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik
ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah
atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.
Untuk
memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era
reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum
muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah
semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme, maka sistem
politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat
cepat, pasti akan menggilasnya. Dan pada saatnya kelak, zaman yang akan
mencatatnya dalam lembaran sejarah yang buruk.
Disaat
generasi muda ingin menggerakan jari – jemarinya menuliskan sejarah
bagi negeri ini, ketika itu pula sebuah tujuan meretaskan sebuah
harapan, meretaskan mimpi dalam tangisan, ketika itu pula janji dan
amanah bernilai ekonomis tinggi, diantara itu tersirat sebuah harapan
munculnya pemimpin sejati dari pertarungan abadi.
Semua itu adalah realita bahwa perpolitikan di Indonesia selalu
dihadapkan pada kondisi – kondisi yang sangat dilematis seperti halnya
mengeluarkan kebijakan yang cenderung menguntungkan disalah satu pihak
saja, kemudian betapa mudahnya elit politik (politisi)
terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika yang menyebabkan
munculnya praktek korupsi, penyalahgunaan wewenang,
dan pemerintahan yang cenderung mengacu pada hukum besi oligarkis dan
lain sebagainya. Yang paling umum ialah dimana kepentingan elit politik
yang secara langsung terlibat dalam setiap penyelenggaraan aktivitas
politik terkesan lebih mementingkan kepentingan golongannya dan praktek
politik yang kurang beretika juga semakin membudaya dimana memunculkan
banyak praktek korupsi yang dilakukan oleh para pemegang amanah yang
kurang bertanggung jawab. Hal ini tentu saja akan menimbulkan adanya
keapatisan yang akan berkorelasi dan mungkin akan menyebabkan dampak
terburuk bagi generasi kader politik muda yaitu pesimisitas pemuda dalam
berpartisipasi secara aktif dalam politik, termasuk menghambat
keterlibatan pemuda dengan ideologi yang dibawanya. Namun ingatlah kata
bung Karno “ Beri aku 10 pemuda, niscaya akan ku gocangkan dunia”. Dari
kata – kata ini diperoleh sebuah jawaban singkat dan sederhana bahwa
dunia perpolitikan bukanlah sebuah permainan yoyo dan gasing bagi
pemainnya yang bisa mereka mainkan sesuai dengan apa yang mereka
inginkan, melainkan sebuah seni dalam masyarakat yang mampu berdiri dan
berjalan indah sehingga mampu berorientasi ke arah yang lebih baik
menuju indonesia emas.
Kondisi
ini akan semakin buruk ketika kaum pemuda belum paham mengenai
bagaimana sebuah sistem demokrasi berjalan di bangsa ini dan bagaiamana
mereka dapat berperan dan mendapatkan akses untuk memberikan sumbangsih
terbaik bagi kemajuan bangsa ini. Demokrasi yang selama ini berlangsung
secara prosedural harapannya mampu berlangsung secara subtansial.
Demikian betapa jelasnya tantangan pemuda kedepannya ialah semakin besar
yaitu bagaimana pemuda dituntut sebagai agent of change, agent of revolution, agent of development, agent of control dan agent of globalisation yang mampu mengimplementasikannya semua gebrakan – gebrakan penting yang berbentuk direct of change
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana kita sebagai pemuda
dituntut untuk mampu mengubah paradigma masyarakat tentang hakikat
politik itu sendiri secara progresif yang dewasa ini selalu saja
dikaitkan dengan “kekuasaan sebagai alat dan tujuan segelintir orang
yang kurang bertanggung jawab” . Namun ingatlah pemuda ! bahwa hakikat
politik bukan itu saja, mari kita perjuangkan bahwa selama jari – jamari
kita masih mampu menulis dan mulut kita masih bisa berbicara bahwa kita
harus yakin bahwa kita mampu menemukan makna dan konteks yang asli dari
anggapan klasik yang merupakan akibat anarkisme politik karena etika
dari logika politik yang salah.
Salah
satu perdebatan yang telah lama mengemuka sebagai wacana publik dalam
beberapa tahun terakhir ini ialah inkompatibilitas antara sistem multi
partai dan presidensial di Indonesia. Inkonsistensi sistem multi partai
ini mungkin salah satu penyebab dari kurang efektifnya pemerintahan
Indonesia yang menganut sistem presidensial. Dalam hal ini sangat di
perlukan sebuah keteguhan dari para pemuda dimana para pemuda diharapkan
mampu memberikan gebrakan – gebrakan secara real dan relevan untuk
mewujudkan gagasan – gagasan perubahan untuk masa kini dan masa yang
akan datang menuju Indonesia emas, misalnya dengan melakukan
revitalisasi semangat sumpah pemuda kembali. Revitalisasi semangat
sumpah pemuda harus segera direalisasikan dalam pergerakan pemuda dalam
bidang sosial perpolitikan. Tanpa itu semua, revitalisasi tersebut hanya
akan menimbulkan aktivitas semu yang akan segera di lupakan sejarah.
Revitalisasi sumpah pemuda yang sangat begitu berjarak, bahkan cenderung
menjauhi gerakan pemuda diranah sosial dan politik yang secara tersirat
justru merupakan pepesan kosong yang menjadi sumpah serapah. Jika kita
merindukan semua itu terulang kembali semangat sumpah pemuda yang begitu
bergelora, maka inilah jalan satu – satunya dimana semangat jari –
jemari muda untuk segera merevitalisasinya adalah hal yang sangat
mendesak.
Memang
masalah – masalah tersebut tidak akan mudah terselesaikan seperti
halnya membalikan telapak tangan. Hal ini membutuhkan waktu dan proses
yang panjang untuk membentuk karakter politik muda yang mumpuni yang
mampu meretaskan semua permasalahan yang ada. Pengimplementasian empat
pilar kebangsaan ialah salah satu titik awal pembentukan karakter
politik muda yang santun dan bersahaja. Namun diantara masalah – masalah
tersebut sejarah telah menorehkan tintannya, bahwa disetiap momen
penting perubahan bangsa ini tidak akan pernah terlepas dari peranan
jari – jemari pemuda dimana kaum muda ialah lokomotif penggerak dan
garda terdepan dalam setiap episodenya. Sekarang ini kaum pemuda
memiliki kesempatan yang begitu besar untuk meningkatkan partisipasi
politiknya. Dengan kemunculan sosok pemuda yang memiliki pandangan yang
jelas mengenai sistem politik, sosial ekonomi kemasyarakatan, demokrasi
dan lain sebagainya. Hal ini diharapkan akan menciptakan sebuah
efektifitas sistem multi partai dan perbaikan politik yang kurang
beretika di Indonesia, semua itu merupakan sebuah urgensi yang harus
benar – benar terealisasi. Partisipasi politik muda sangatlah absolut
agar kemunculan pemuda dalam perpolitikan tidak hanya bermodalkan usia
dan semangat perubahan yang lebih baru, melainkan diperlukan juga
pandangan segar kaum pemuda dalam sebuah visi dan misi leadership yang
mampu terefleksikan menuju Indonesia emas. Namun tidak serta merta
pengalaman sejarah tersebut menjadikan pemuda membusungkan dada tanpa
suatu landasan yang jelas dan selalu saja memendang kotor orang – orang
yang berada diatas sana, karena itu sungguh tidak adil dan tidak
sepatutnya kita terdoktrin oleh semua itu.
Dari bermacam – macam masalah diatas setidaknya menjadi gambaran bahwa
peranan pemuda yang paling utama dan essensial ialah mengisi kekosongan
dalam tubuh sosial politik dalam masyarakat menuju orientasi yang lebih
baik. Sebuah pepatah menjelaskan bahwa “ JANGAN TANYAKAN APA YANG BANGSA
INI BISA BERIKAN KEPADA ANDA NAMUN COBA TANYAKAN APA YANG BISA ANDA
BERIKAN KEPADA BANGSA INI”. Secara jelas tersirat sebuah makna dari
pepatah tersebut yaitu tugas pemuda bukanlah untuk selalu berhasil.
Karena tugas kita yang utama ialah untuk selalu mencoba dan memberikan
suatu pembeda dan niscaya dalam proses tersebut ditemukan sebuah
pembelajaran untuk membangun kesempatan untuk mencapai suatu titik
keberhasilan yang hakiki, dalam politik pun kita sebagai pemuda dituntut
demikian. Bagaiamana masalah – masalah yang kita hadapi bukan hendaknya
dijadikan sebuah halangan melainkan kita jadikan suatu tantangan yang
mengasikan. Kita jangan pernah terjebak dalam arus pemikiran praktis
dimana menginginkan apa – apa tetapi tidak bisa berbuat apa – apa dan
hanya ingin menguasai apa – apa tetapi tidak mampu mengayomi apa – apa.
Disinilah peran pemuda harus segera direvitalisasikan oleh karena pemuda
harus secara relevan mengetahui, menghayati, dan menyakini cita – cita
luhur bangsa Indonesia. Pemuda harus peka sebagai agent of control dan agent of change
perpolitikan di Indonesia, meluruskan bilamana pengelolaan negara
melenceng dari koridor cita – cita bangsa Indonesia dan bilamana pula
terjadi penyalahgunaan wewenang yang justru akan menciderai empat pilar
kebangsaan yang harus kita junjung tinggi menuju Indonesia emas. Karena
pemuda harus paham dan mengerti politik karena pemuda adalah satu –
satunya senjata bangsa Indonesia menuju orientasi yang lebih baik dan
ini ialah harga mati.
0 komentar:
Post a Comment
Berilah komentar anda dengan bijak